-->

Jangan Mentang-Mentang! Protes Atas Vonis 18 Bulan Penjara, Sikap Meiliana Soal Adzan Memang Arogan

Advertisemen
Membaca hasil penelitian Iswandi Syahputra, dosen Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tentang kasus Meiliana yang divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Tanjung Balai Sumatera Utara, menarik disimak.

Meiliana terpidana 18 bulan penjara (ist).

Kasus itu ternyata tidaklah berdiri sendiri, melainkan merupakan letupan masalah sosial yang laten yang selama ini terbendung tanpa saluran dan terkait dengan Pilkada. Akibatnya 8 vihara dibakar pada Juli 2016.

Menurt Iswandi (Kumparan, 28/8/2018), pemicunya adalah sikap Meiliana yang dianggap arogan dari ucapan dan bahasa tubuhnya ketika menyampaikan keberatan soal suara adzan, baik kepada tetangga pemilik warung maupun kepada pengurus masjid yang datang ke rumahnya.

Meiliana seperti mendapat angin dari kepala Daerah yang memberikan izin pembangunan Vihara di tepi sungai Asahan hasil reklamasi. Sayang patung Viahara itu berada sejajar dengan arah kiblat sehingga umat Islam yang mayoritas disitu merasa seperti menyembah patung. Umat muslim terganggu. Sebanyak 12 surat keberatan dilayangkan tapi tak digubris, inilah yang membuat warga mendongkol.

Vihara yang dibakar (Tempo.co).

Bahkan pernyataan Wapres JK yang mendukung speaker masjid tidak perlu keras-keras juga menjadi dukungan moril bagi Meiliana. Sebagai etnis Tionghoa, arogansi Meiliana juga terpengaruh oleh sikap Ahok yang saat itu sudah menjadi kontroversi.

Dalam menyampaikan hasil penelitian yang juga dikutip Kumparan, Iswandi sampai mengutip sejumlah praktek suara adzan di berbagai negara, antara lain Jerman dan Belanda yang melarang suara adzan dengan pengeras suara, karena Non muslim mayoritas di situ.

Sementara di Swedia pemerintah membolehkan Adzan dengan pengeras suara tapi dibatasi hanya 2 km. Iswandi juga menyebut sejarah pelarangan adzan di Indonesia ternyata sudah berlangsung sejak zaman Belanda.

Oleh karena itu Iswandi Syahputra menyebut perlunya penegakan hukum toleransi, yakni fiqih mayoritas dan minoritas. Dalam konteks itu Mayoritas melindungi Minoritas, dan Minoritas menghormati Mayoritas.

Patung di Vihara yang dianggap sejajar dengan arah kiblat (Tribun).

“Jadi hukum toleransi tidak buta dan membabibuta, sama rasa sama rata. Di sinilah seharusnya kaum cerdik pandai memberi pencerahan dan pemerintah berpihak pada keadilan dan kebenaran pengetahuan, bukan kekuasaan,” kata Iswandi Syahputra.

Apa yang ditemukan Iswandi memberi pelajaran bahwa gerakan protes terhadap putusan pengadilan belum lama ini bukanlah jalan yang elok, justru menunjukkan arogansi terhadap pengadilan.

Orang Jawa bilang, jangan mentang-mentang. Kalau tidak puas silakan banding dan tak perlu menggalang kekuatan. Pada akhirnya ada hukum toleransi yang musti ditegakkan. (fur/29/8/2018).

Baca Sumber
Advertisemen

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments